Kementerian Pertanian menyatakan bahwa selama tahun 2010 sektor perkebunan mampu menyumbang devisa dari kegiatan ekspor senilai US$22 Milliar. Salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan devisa tersebut adalah kakao.
Kakao merupakan peringkat ke tiga pada sektor perkebunan sebagai penghasil devisa setelah komoditas karet dan kelapa sawit. Disamping itu komoditas ini memberikan kontribusi lapangan kerja bagi lebih dari 1,7 juta keluarga petani, belum termasuk sektor industri, sektor jasa dan sektor-sektor lainnya yang jumlahnya cukup besar.
Tanaman kakao diusahakan pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Luas areal perkebunan rakyat mencangkup hampir 85% dari total luas areal kakao nasional. Ditinjau dari manfaat ekonomi, pada saat ini petani kakao di daerah mempunyai margin keuntungan yang belum proposional dibanding margin yang dinikmati oleh pedagang.
Sistem perdagangan ekspor masih dikuasai oleh pedagang asing. Perdagangan kakao Indonesia dikenai tarif otamatic detention di Amerika. Alasannya produk kakao Indonesia masih bermutu rendah ditandai dengan persentase cemaran kotoran, serangga dan jamur yang masih tinggi. Sehingga faktor kualitas mutu kakao Indonesia merupakan titik kritis dalam perdagangan.
Beberapa jenis kakao yang diperdagangkan di fermentasi terlebih dahulu dan sebagian lagi tanpa difermentasi. Keunggulan biji kakao fermentasi bila dibandingkan dengan tanpa melalui proses fermentasi adalah dapat menghasilkan bubuk kakao (cocoa powder) yang menghasilkan tekstur keras sehingga chocolate bar yang diproses dapat bertahan lebih lama di daerah tropis tanpa disimpan di ruang pendingin dan dapat menghasilkan aroma yang lebih baik.
Dalam pengembangannya kakao menghadapi berbagai permasalahan penting diantaranya adalah :
Produktivitas kakao rakyat masih belum optimal.
Kelembagaan petani dan kelembagaan usaha belum mandiri dan optimal, sehingga belum mampu memanfaatkan peluang usaha yang ada, berbagai kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil menjadi belum efisien. Hal ini menyebabkan posisi rebut tawar (bargaining position) yang tidak berpihak kepada petani karena harga sangat ditentukan oleh pedagang perantara (muge).
Fermentasi masih belum dilakukan dengan baik karena sarana dan prasarana belum mamadai, disamping belum adanya perbedaan harga antara kakao fermentasi dengan yang tidak fermentasi alias masih sama dianggap kurang menarik oleh petani.
Produk turunan masih terbatas, sebagian besar masih dijual/diekspor dalam bentuk biji (80%).
Permodalan dan akses pasar yang lemah menyebabkan rendahnya posisi tawar petani.Pada saat ini telah berkembang kemitraan antara kelompok tani dan perusahaan daerah dengan industri kakao, namun masih belum berjalan dengan baik. Sebagian masih melakukan transaksi penjualan melalui pedagang pengumpul.
Sebagai tindak lanjutnya, maka peningkatan mutu biji kakao dan kemitraan usaha merupakan kunci utama penanganan masalah kakao. Untuk itu perlu penyuluhan, bimbingan/pelatihan dan supervisi mengenai pentingnya jaminan mutu, penguatan kelembagaan dan kemampuan manajemen usaha serta kemitraan antara petani dan industri kakao / eksportir.
Untuk menghasilkan produk kakao yang bermutu, petani/kelompok tani diharapkan bisa menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan baik pada saat budidaya maupun penanganan pasca panen. Petani/kelompok tani kakao harus melakukan praktek penanganan pasca panen yang baik dan terdokumentasi dan menerapkan 8 kunci Standar Prosedur Operasi Sanitasi serta program kebersihan sebagai persyaratan dasar untuk mampu menghasilkan biji kakao fermentasi yang aman dan bermutu.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan dan Komentar Sobat.
Salam Blogger.