Untuk informasi bagi teman-teman yang belum tahu bahwa sebagian besar kakao petani dibeli oleh pedagang desa/kampung atau sering disebut muge yang setiap hari berkeliling disetiap kampung untuk membeli kakao petani.
Sudah jadi kebiasaan petani menjual kakaonya dalam keadaan basah ataupun kering sehari atau 2 hari. Sangat jarang petani mengeringkan kakaonya sampai kadar air 7.5% sesuai dengan standar nasional Indonesia.
Muge kampung biasanya membeli kakao petani dibawah harga kakao kabupaten atau dibawah harga yang ditetapkan agen besar. Biasanya muge kampung akan konfirmasi dulu berapa pasaran kakao untuk hari ini baru membeli kakao petani sesuai dengan kadar airnya. Tapi jangan salah, kadar air yang ditetapkan muge kampung hanya kira-kira saja alias pake jurus feeling. Alasannya karena sudah lama jadi muge kampung dengan memegang kakao saja muge kampung sudah tahu kadar airnya sekian. Secara ilmiah pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kita asumsikan saja muge kampung mengambil keuntungan Rp. 1.000,- per kilogramnya dan rasanya wajar sajalah karena dengan resiko harga pasaran kakao yang fluktuatif ditambah biaya transportasi plus konsumsi kita bisa maklum, namanya juga pedagang kecil, katanya. Kemudian dengan teknik dan caranya tersendiri muge kampung akan mempersiapkan kakao yang sudah dibelinya dari petani untuk di jual ke muge kabupaten/agen besar. Di sini juga kita asumsikan muge kabupaten akan mengambil Rp. 1.000,- keuntungan dalam per kilogram kakaonya.
Nah, Dari muge kabupaten setelah di proses ulang dengan tehnologi yang lebih baik selanjutnya kakao akan dijual lagi ke agen besarnya di kota besar. Kalau di Aceh jualnya pasti ke Medan. Para pedagang Medan yang lebih memahami strategi pemasaran, kakao akan diproses dengan skala industri dan di ekspor ke luar negeri atau ke pembeli akhir.
Disini permasalahan yang begitu ironi. Para pedagang di Medan yang tidak pernah ke kebun kakao akan mengambil keuntungan minimum Rp. 500,-./kilogramnya. Memang kelihatannya sedikit, Tapi mereka melakukan ekspor kakao sampai puluhan ton. Bisa teman-teman bayangkan berapa keuntungan yang diperolehnya.
Dari analisa diatas Rp. 2.500,- uang petani hilang per kilogram kakao. Bila petani dalam setahun menjual kakaonya 800 kilogram berarti dalam setahun uang petani hilang Rp. 2.000.000,-. Nominal yang begitu berarti bagi petani. Apakah pernah terlintas di ingatan kita seandainya koperasi bisa langsung menjual kakaonya ke pembeli akhir sehingga keuntungan akan didapatkan langsung oleh koperasi.
Siapa yang peduli ???
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan dan Komentar Sobat.
Salam Blogger.